Sunday 15 April 2012

Dewi Zahrana

Mungkin ada yang bertanya-tanya siapakah nama wanita yang menjadi subjek postingan saya kali ini. Bukan, itu bukan nama pacar apalagi calon istri saya. Hehehe. Jujur aja saya juga baru mengenal wanita ini minggu kemarin. Perkenalan ini terjadi didalam kereta api saat perjalanan pulang saya dari Jogja ke Bekasi. Selama perjalanan tersebut dia menceritakan kisah hidupnya. Tentang pencarian jodohnya...


 
***
Nama lengkapnya Dewi Zahrana, seorang gadis berusia tiga puluh empat tahun. Lulusan S1 Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan mengambil pendidikan masternya di Institut Teknologi Bandung. Banyak yang memandang dia sukses. Pendapatan cukup, prestasi yang membanggakan, dan ditunjang dengan sikap yang baik dan sopan membuatnya terlihat sempurna untuk perempuan seusianya. Profesinya sebagai pengajar/dosen telah membuat dia mendapat penghargaan sebagai dosen paling berdedikasi di sebuah kampus swasta terkemuka di Semarang. Dia sangat disegani oleh sesama dosen dan dicintai oleh para mahasiswanya. 

Tak ada yang kurang dengan Rana, panggilannya. Dia sudah mendapat apa yang telah dicita-citakannya kecuali satu hal, yaitu pendamping hidup. Di usianya yang sudah matang dia masih belum memutuskan untuk menikah. Saat perempuan seusianya sudah menimang anak, dia masih saja sendiri. Bahkan mahasiswi yang ia bimbing untuk skripsi sudah banyak yang menikah. Ia meneteskan airmata. Sudah banyak kumbang yang berusaha hinggap di hatinya, tapi entah kenapa ia menolak mereka tanpa pertimbangan. Ia menyadari prestasi sejati bukan hanya prestasi akademik semata. Ketika ia sadar harus rendah hati dan ingin mendapat pendamping hidup yang baik. Ketika ia menyadari ingin menjadi muslimah yang seutuhnya. Ketika ia sadar bahwa yang ia hadapi kini adalah jalan terjal yang menguji kesabarannya. Saat ia memikirkan hal-hal tersebut, maka terbayang wajah kedua orangtuanya yang muncul dengan pertanyaan, "Kowe mikir opo Nduk? Kowe ngenteni opo? Dadine kapan kowe kawin, Nduk?"
  
Cobaan pertama tiba saat Dekan Fakultas Teknik dimana ia mengajar berniat melamarnya. Duda berusia lima puluh lima tahun, kredibilitas intelektual dan materinya sudah tidak diragukan lagi. Ditambah lagi dengan titel haji yang disandangnya. Orangtua Rana berharap semoga keputusan putri kesayangannya lain dari sebelum-sebelumnya, Tapi Rana sudah punya keputusan sendiri, ia sudah bulat menolak karena kredibilitas moral dekan tsb yang tidak bisa ditolerir oleh Rana. Ia teringat akan apa yang telah dilakukan sang dekan kepada beberapa mahasiswinya yang dikencani diam-diam, ia tidak akan mungkin memaafkan. Rana teringat akan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW "Al 'ajalatu minasy syaithan | Tergesa-gesa itu datangnya dari setan".  Ia tidak mau tergesa-gesa. Dan ia tidak mau mengecewakan siapapun. Termasuk dirinya sendiri. Mendengar pendapat putrinya, kedua orangtua Rana sudah paham kemana arah perkataan putrinya itu.
"Kamu mikir apa, Anakku? Kamu menunggu apa? Kapan kamu menikah, Anakku?"
Kata-kata tersebut masih terngiang-ngiang di telinga Rana. Dia tahu telah mengecewakan orangtuanya yang telah berharap besar kepadanya. Rana hanya ingin menunggu lelaki shaleh yang pas di hatinya. Itu saja. Ia merasa agak sulit memahamkan kepada kedua orangtuanya bahwa keshalehan seseorang tidak dilihat dari sudah haji/belum. Tidak dilihat dari peci atau baju koko putih yang dikenakannya. Rana tidak mau asal menikah. Menikah adalah ibadah, tidak boleh asal-asalan. Harus dikuatkan benar syarat rukunnya. Meskipun ia tahu ia sudah jadi perawan tua yang sangat terlambat menikah, namun ia tidak mau gegabah dalam memilih ayah untuk anak-anaknya kelak. Tak lama setelah menolak lamaran sang dekan, ia memutuskan untuk pindah dari universitas dan mengajar di STM Al Fatah yang berada dibawah payung Yayasan Pesantren Al Fatah di daerah Mranggen. Menurut hematnya semua itu adalah demi kebaikan bersama dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Rana pernah mendapat tawaran dari sesama dosen di kampus yang berniat meminangnya untuk menjadi istri kedua. Dosen tsb baik secara agama dan perilaku. Saat mendapat tawaran tersebut Rana tidak tahu apa yang ia rasakan. Bukan perasaan bahagia. Ia merasa betapa tidak mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan betapa susah menjadi wanita. Jika dosen itu tidak memiliki isteri, katakanlah duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada perasaan yang akan dialami isteri pertama dosen itu. Dan ia juga tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap" menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua dan dimadu.

Setelah tawaran itu, sudah dua orang yang maju untuk meminangnya. Pertama adalah seorang satpam di sebuah BUMN, tapi ia tolak baik-baik karena pria tersebut tidak bisa membaca Al-Quran sama sekali. Shalat pun dengan jujur disampaikannya masih tidak lengkap alias bolong-bolong. Rana hanya bisa membayangkan akan jadi apa anak-anaknya kelak jika ayahnya tidak mengenal Al-Quran. Pria kedua adalah seorang duda beranak tiga yang dibawa oleh seorang temannya. Pria ini pun ditolak, bukan karena statusnya sebagai duda. Tapi lebih kepada kenyataan bahwa ia telah kawin-cerai sebanyak tiga kali dalam kurun tiga tahun terakhir. Rana tidak ingin menjadi "korban" yang keempat, terlepas dari penjelasan temannya bahwa duda tersebut sudah insyaf dan akan menjadikannya istri yang terakhir.

"Kamu itu masih tinggi hati Rana! Perempuan tinggi hati tak akan mendapatkan jodohnya!", begitu perkataan ibu Rana yang sempat marah dengan segala penolakan lamaran yang datang silih berganti kepadanya. Rana menangis terisak dipangkuan ibunya. Ia merasa telah terlalu mengecewakan orangtuanya. Dia belum bisa berbakti kepada mereka berdua. Tapi dia tetap yakin akan segala keputusannya. Karena ia merasa penolakannya berlandaskan logika dan syariat yang ia yakini kebenarannya. "Maafkan saya Ibu, Bapak..."

Tak kurang ikhtiar Rana akan pencarian jodohnya, ia sowan ke tempat Pak Kyai dan Ummi yang mengasuh pondok pesantren dimana ia mengajar sekarang. Bagi Rana, status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan. Ia hanya ingin suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Itu saja. Hal tsb telah ia sampaikan kepada Ummi. Keesokan harinya, setelah berembuk dengan Pak Kyai. Ummi menjelaskan seorang calon suami yang akan diajukan kepada Rana. "Pak Kiai punya seorang santri yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pesantren. Dia santri yang dulu sangat diandalkan. Namanya Rahmad. Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pesantren ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Ia dari keluarga pas-pasan. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan kerupuk keliling. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah shalat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik", terang Ummi kepada Rana.

"Penjual kerupuk keliling?. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual kerupuk keliling?" gumamnya sendiri. Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya. "Tapi meskipun penjual kerupuk keliling. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa diandalkan. Toh aku sudah bilang pada Ummi bahwa status, strata, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbangan lagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan bisa jadi teladan untuk anak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual kerupuk keliling?", ujar Rana dalam hati.

"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia", demikian kata ibunya saat Rana bermusyawarah tentang hal tsb. Setelah berdiskusi dengan orangtua dan sahabatnya. Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Melalui perantara Pak Kyai dan Ummi, kedua keluarga dipertemukan. Dan ditetapkan hari H pernikahan adalah dua minggu setelah pertemuan tsb. 

Hari pernikahan Rana semakin dekat. Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh, ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga. Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anak-anak yang menjadi penyejuk jiwa.

Tapi Allah berkehendak lain, sehari sebelum akad nikah Rana mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Dia harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya, Rahmad telah meninggal dunia karena kecelakaan. Sungguh diluar dugaan siapapun. Rana pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Keluarga pun larut dalam kesedihan yang mendalam. Penderitaan bertambah dengan kepergian Ayahanda Rana yang terkena serangan jantung setelah mendapat kabar calon menantunya tersebut. Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara belasungkawa kematian. Tak ada lagu bahagia. Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.

Rana masih trauma berat dengan apa yang telah terjadi kepadanya. Dia merasa tidak bergairah lagi dalam menjalani hidup. Shock yang dialaminya telah membuat harapannya pupus. Lina, sahabatnya berusaha menguatkan Rana. "Ingat Rana, Allah Maha Luas kasih sayang-Nya. Percayalah ini cuma ujian kecil. Masih banyak hamba Allah di muka bumi ini yang diuji dengan ujian yang jauh lebih besar dari yang kaualami. Ayolah Rana, kau harus tabah! Kau harus tegar! Kau harus kuat! Kau harus terus maju! Kau tak boleh menyerah. Putus asa berarti kau menyerahkan dirimu dalam perangkap setan!", ujar Lina kepada sahabat karibnya itu. Suntikan semangat hidup juga ia dapatkan dari Bu Zulaikha, dokter yang merawatnya selama dirawat di rumah sakit. Beliau adalah ibunda dari Hasan, mahasiswa lulusan terbaik dan mendapat beasiswa S2 di Malaysia yang dibimbing olehnya saat menjadi dosen. Nasehat dari kedua orang tersebut membuatnya bangkit dan semangat dalam menerima kenyataan pahit yang menderanya.

Hari pertama Ramadhan datang, bulan yang penuh berkah dan maghfirah. Rumah Rana lebih sepi dari biasanya, sepeninggal ayahnya yang telah tiada, sekarang rumah tsb hanya dihuni berdua oleh ia dan ibunya. Siang harinya selepas dari pasar, Ibu Zulaikha bertandang kerumah. Kedatangannya sungguh mengejutkan Rana. Ibu Zulaikha berniat menyampaikan niat Hasan, anak laki-lakinya yang ingin mempersunting Rana. Hasan yang ia kenal sebagai mahasiswa bimbingannya yang baik, cerdas, aktivis kampus, dan berusia empat tahun dibawahnya ingin meminang Rana sebagai istrinya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang disampaikan Bu Zulaikha itu sangat jelas ia dengar dan sangat jelas maksudnya. Tak ada yang tersembunyi lagi. Melihat keseriusan Ibu Zulaikha dalam menyampaikan niat Hasan kepadanya. Rana menerima pinangan lisan tsb dengan satu syarat. "Akad nikahnya nanti malam bakda shalat Tarawih di masjid. Biar disaksikan oleh seluruh jamaah masjid. Maharnya seadanya saja.", pinta Rana kepada Ibu Zulaikha.

Setelah shalat Maghrib Rana mendapat telpon dari Bu Zulaikha, 
"Bu Zahrana. Mengenai keputusan syarat yang Bu Zahrana ajukan, ini ibu langsung dengar sendiri suara Hasan ya..".
Suara di hand phone Rana lalu berubah,
"Bu Zahrana ini Hasan. Saya setuju dengan syarat ibu. Ibu siapkan wali dan saksinya saya akan siapkan maharnya dan penghulunya. Kami sekeluarga insya Allah berangkat sekarang, dan kami shalat Isya di masjid dekat rumah Ibu."
"Kau serius Hasan?"

"Iya Bu."
"Kau bisa mencintaiku?"
"Iya Bu."
"Kalau begitu jangan lagi kaupanggil aku Ibu. Panggil aku, Dik. Dik Zahrana. Coba kau bisa nggak?"

Rana merasa tak perlu malu.
"Saya coba...Dik Zahrana, tunggu aku di masjid."
Mata Rana berkaca-kaca mendengarnya. Ribuan hamdalah menyesak dalam dada.
"Te..terima kasih. Kita bertemu di masjid, Insya Allah."

Rana menangis tersedu-sedu. Melihat hal itu sang ibu bingung dan bertanya-tanya pada Rana. Dengan terisak-isak Rana menjelaskan apa yang terjadi. Sang ibu turut menangis. Rana lalu sujud syukur. Dalam sujudnya Rana memohon kepada Allah agar akad nikah itu benar-benar terjadi. Tidak sekadar angan-angan dan mimpi. Dan pada malam kedua di Bulan Suci Ramadhan itu, apa yang diharapkan Rana terjadi. Akad nikah setelah shalat tarawih disaksikan oleh jamaah yang membludak. Sebagian besar adalah tetangganya.

Kebahagiaan Rana malam itu menghapus semua derita yang dialaminya. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafasnya. Ia semakin yakin, bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar dan ihsan. Malam itu, benar-benar malam kesaksian Zahrana atas Tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan Allah 'Azza wa Jalla kepadanya. Subhaanallaah wal hamdulillaah, wa laailaahaillallaahu wallaahu akbar!

***
Kisah ini disadur dari sebuah novel karya Habiburrahman El-Shirazy yang berjudul Takbir Cinta Zahrana dengan sedikit perubahan dalam penyampaian. Novel inilah yang menemani perjalanan pulang saya dari Jogja ke Bekasi yang telah saya sebutkan di awal postingan. Dari sini saya mengenal sosok Dewi Zahrana, perempuan yang tegar dalam pencarian untuk menggenapkan separuh agamanya. Sama seperti halnya dengan Rana, saya juga akan berbuat hal yang demikian. Untuk para lelaki, mari berikhtiar dalam mencari dan menjemput bidadarimu. Untuk perempuan, jagalah fitrah kalian dengan tetap istiqomah dalam pengharapan kepadaNya. Berdoalah dengan sepenuh hati, biar Allah yang akan menyampaikan doa/pesan kalian ke hati laki-laki yang pantas dan terbaik untukmu. Karena saya percaya muslimah yang baik akan berpasangan dengan muslim yang baik pula. Ingat, siapa yang bersungguh-sungguh. Maka dia akan berjodoh. Man Joddoh Wa Jodoh! ^^


Untukmu, yang berharap dalam diam. Tetaplah istiqomah dalam pengharapanNya.
Tetaplah terang, tetaplah benderang :)


Slim Shandy | 

No comments:

Post a Comment